masukkan script iklan disini
Pict by: Google.com
Satu lagi kutukan keluar dari mulut si mayor, "orang sepertimu hanya perusak. merusak harmoni yang harusnya sudah terbangun. Kau mengacaukannya, enyahlah".
Yah sakit memang, namun kurang ajar jika membalas. Kau tak boleh balas mengutuk. Kau ini Minor, tempat segala masalah berasal dan tempat semua kutukan berlabuh. Mungkin sudah kodratku untuk mengalah pada Mayor.S eharusnya memang seperti itu. Begitulah hari hariku, kutukan selalu saja beralamat kepadaku, tak boleh kutanya mengapa, sudah nasibku memang, karena aku adalah si Minor, Memang tak melulu waktuku diisi kutukan nada-nada yang lain kadang datang menghibur mengajak bercengkrama namun tetap saja tak cukup bagiku.
"Aku selalu ingin lepas dari kutukan sebagai minor, aku ingin jadi burung yang bebas memilih bertengger didahan manapun yang aku inginkan, aku jengah terus dibayang - bayangi olehnya. aku selalu saja berdoa, menghamba kepada pemilik tangga nada, Sang composer sejati yang telah menciptakanku. Namun tak pernah doaku terbalas, mungkin dia sedang sibuk dengan nada – nada yang lain, atau mungkin yang tertulis biarlah tertulis, mustahil untuk dapat dihapus lagi". Perkataan itu hanya bisa menggema dalam batinku, tak mampu terucap oleh mulutku, kalaupun itu terucap hanya lewat suara yang berbisik dan hanya diriku seorang yang mendengarnya, kadang kulakukan untuk menenangkan diriku.
Aku tercipta untuk dikutuk, sudah seperti itulah aku terlahir, sejak kecil aku sudah akrab dengan kutukan, tak ada yang lebih mengenalnya dibanding diriku. "Mayor, kau terus saja mengutukku karena tak mampu jadi dirimu, kau kira aku ini hanya pelengkap harmoni dalam dirimu?. tidak, Aku akan menjelma irama yang dilantunkan dari masa ke masa, meski tanpa dirimu dan tangga nada yang lain ". Aku terus bercoloteh, darahku sudah terlanjur mendidih.
"Sudah semestinya begitu. Kau pikir kau ini siapa minor?, Aku menyesal. Kenapa kau harus lahir di tangga nada yang sama denganku" ungkap mayor dengan sombongnya.
"Mustahil semua tangga nada seragam denganmu, kau terlalu fanatik. Musiknya akan terdengar monoton jika semuanya mayor. Mustahil semuanya Mayor. Dunia tak melulu berbicara tentang dirimu"
“diam kau….”.
Pembicaraannya lansung saja ku potong, amarahku sudah sampai di ubun-ubun,.Aku adalah bom waktu yang sudah siap membakar segala yang ada disekitarku “kau harusnya sadar, harusnya kau tak diberi nama seperti itu. Namamu berbanding terbalik dengan segala karakter yang melekat dalam kau terlalu egois dan ke kanak - kanakan untuk menjadi seorang mayor’’.
Begitulah, setiap harinya aku selalu tenggelam dalam lamunanku berdebat dengan mayor. Hanya dalam dunia hayal aku terbebas tanpa sekatnya, karna dalam dunia nyata aku hanya suara- suara minor yang tak layak untuk didengarkan.
Satu lagi kutukan keluar dari mulut si mayor, "orang sepertimu hanya perusak. merusak harmoni yang harusnya sudah terbangun. Kau mengacaukannya, enyahlah".
Yah sakit memang, namun kurang ajar jika membalas. Kau tak boleh balas mengutuk. Kau ini Minor, tempat segala masalah berasal dan tempat semua kutukan berlabuh. Mungkin sudah kodratku untuk mengalah pada Mayor.S eharusnya memang seperti itu. Begitulah hari hariku, kutukan selalu saja beralamat kepadaku, tak boleh kutanya mengapa, sudah nasibku memang, karena aku adalah si Minor, Memang tak melulu waktuku diisi kutukan nada-nada yang lain kadang datang menghibur mengajak bercengkrama namun tetap saja tak cukup bagiku.
"Aku selalu ingin lepas dari kutukan sebagai minor, aku ingin jadi burung yang bebas memilih bertengger didahan manapun yang aku inginkan, aku jengah terus dibayang - bayangi olehnya. aku selalu saja berdoa, menghamba kepada pemilik tangga nada, Sang composer sejati yang telah menciptakanku. Namun tak pernah doaku terbalas, mungkin dia sedang sibuk dengan nada – nada yang lain, atau mungkin yang tertulis biarlah tertulis, mustahil untuk dapat dihapus lagi". Perkataan itu hanya bisa menggema dalam batinku, tak mampu terucap oleh mulutku, kalaupun itu terucap hanya lewat suara yang berbisik dan hanya diriku seorang yang mendengarnya, kadang kulakukan untuk menenangkan diriku.
Aku tercipta untuk dikutuk, sudah seperti itulah aku terlahir, sejak kecil aku sudah akrab dengan kutukan, tak ada yang lebih mengenalnya dibanding diriku. "Mayor, kau terus saja mengutukku karena tak mampu jadi dirimu, kau kira aku ini hanya pelengkap harmoni dalam dirimu?. tidak, Aku akan menjelma irama yang dilantunkan dari masa ke masa, meski tanpa dirimu dan tangga nada yang lain ". Aku terus bercoloteh, darahku sudah terlanjur mendidih.
"Sudah semestinya begitu. Kau pikir kau ini siapa minor?, Aku menyesal. Kenapa kau harus lahir di tangga nada yang sama denganku" ungkap mayor dengan sombongnya.
"Mustahil semua tangga nada seragam denganmu, kau terlalu fanatik. Musiknya akan terdengar monoton jika semuanya mayor. Mustahil semuanya Mayor. Dunia tak melulu berbicara tentang dirimu"
“diam kau….”.
Pembicaraannya lansung saja ku potong, amarahku sudah sampai di ubun-ubun,.Aku adalah bom waktu yang sudah siap membakar segala yang ada disekitarku “kau harusnya sadar, harusnya kau tak diberi nama seperti itu. Namamu berbanding terbalik dengan segala karakter yang melekat dalam kau terlalu egois dan ke kanak - kanakan untuk menjadi seorang mayor’’.
Begitulah, setiap harinya aku selalu tenggelam dalam lamunanku berdebat dengan mayor. Hanya dalam dunia hayal aku terbebas tanpa sekatnya, karna dalam dunia nyata aku hanya suara- suara minor yang tak layak untuk didengarkan.