Sapu Lidi

pic by pixabay


Oleh: Rahmad Adri
Kabid KPP HMI Komisariat Adab dan Humaniora

Seminggu ini kerjanya menggerutu menyalahkanku, mengeluarkan segala sumpah serapah dari moncongnya yang kotor. “anjing dasar sampah, pohon bangsat. Tak henti-hentinya daunnya berguguran mengotori halaman, kalau seperti ini kutebang saja pohon sialan ini’’. Moncong kotor itu mengomel penuh sumpah serapah. Ingin sekali aku balik mengomelinya, bukan salahku kalau daunku berguguran memenuhi halamanmu, lagipula sudah menjadi kodratku untuk menggugurkan daunku yang mulai menua, sekali lagi aku tak pernah memilih untuk tumbuh dimana, kalianlah para manusia yang menanamku disini untuk menikmati buahku setiap musimnya”.

Daunku yang kau maksud sebagai sampah itu bukanlah sampah bagi mahluk yang lain, hanya dirimulah yang menganggapnya sebagai sampah, daunku menyuburkan tanah menumbuhkan cacing ditanah,makanan untuk bakteri disekitarnya. Justru kalianlah bangsa manusia yang mengotori bumi ini mengisinya dengan beragam sampah plastik dan limbah, harusnya kamilah yang meuntut bukanlah dirimu. Ahhhhh, percuma saja aku menggerutu, tak akan ada yang mendengarku, aku hanyalah pohon rambutan muda yang jika sedang musim buah dipuji-puji leh manusia dan dimusim lainnya dicampakan olehnya.


******

Aku sudah lelah mendengar ocehan kalian tentang kebersihan sekretariat ini, rugi pengetahuan dan ilmu kalian yang selangit itu jika kebersihan lingkungan hidupmu kau hiraukan. Tak usah mengaku dan berbangga jadi aktivis jika seperti itu, kebersihan adalah sebagian dari kemanusiana, membersihkan lingkungan sekitar adalah upaya memanusiakan diri, sudah tugas kita sebagai mansuia untuk menjaga dan mengolah alam sebaik mungkin, atau surah al-baqarah yang selalu kau gembar-gemborkan dalam setiap materi diskusi dan kajianmu hanyalah slogan-slogan semata agar orang-orang dan mahasiswa disekitarmu menjadib kagum terhadap diri kalian, berkacalah pada dirimu sendiri. Bangsat, sampai kapan aku terus bergumam dalam hati seperti ini, mencoba mengingatkan mereka pun bagiku tak akan mengubah keadaan, orang yang sudah merasa cerdas memanglah seperti itu, kepalanya sudah penuh dengan ilmu-ilmu yang harusnya mencerahkan malah menjadi tameng untuk melindungi diri dari kesalahan-kesalahn yang mereka lakukan.

Pernah sesekali dari mereka menggereutu melihat pakian yang berhamburan dan piring kotor yang sudah berkerak. “ulah siapa lagi ini, manusia bodoh mana lagi yang melakukan ini, habis makan itu harusnya piring dicuci dan pakaianmu yang kotor itu, ini bukan hotel tempat kalian bisa berbuat seenaknya” kata seorang teman perempuanku yang juga anggota dari oraganisasi ini. “kau tanyakan saja sendiri pada dirimu,siapa yang melakukan ini, siapa yang mengotori tempat ini,atau begini saja kalian semua tanyakan pada diri kalian, sudah sejauh mana tingkat kecerdasan dan keilmuan kalian hingga bkalian lupa bagaimana cara mencuci piring, menggerakkan sapu untuk sekedar membersihkan ruangan dan halaman sekretariat ini” kata seorang lagi menimpali. Aku hanya tertawa kecil melihat perdebatan bodoh itu, aku beranjak dari tempat itu dan memilih untuk duduk dihalaman, bagiku ocehan mereka tak ada gunanya, membersihakn itu bukan di alam teori tapi di alam realitas, mungkin mereka terlalu banyak membaa buku-buku filsafat yang tebalnya beratus-ratus halaman hingga mereka lupa kalau keberhasilan itu adalah aksi bukan sebuah konsep yang melayang-layang di alam ide mereka.

******

"Kau ini kenapa lagi, mukamu terlihat kusut begitu?” tanya seorang senior kepadaku. “aku masih memikirkan perkataan kawan-kawan sewaktu rapat menggu lalu, mereka mengembar-gemborkan persoalan kebersihan diseretariat, dan kini mereka seperti lupa dengan apa yang mereka perdebatkan” aku meregoh kantong celana, mengambil beberapa rokok batangan untuk kuhisap,sambil memberi kode bahwa aku butuh korek untuk membakar rokok itu. Asap rokok meengepul di udara, kami berdua hanya diam, menikmati  bebrapa hisapan rokok. Persoalan kebersihan memang sudah menjadi masalah turun temurun di sekretariat ini, dan mungkin akan terus seperti itu hingga angkatan-angkatan berkutnya, saya merasa pesimis saja, bagaima mungkin pikiran dan hati mereka bisa besrih jika hal yang paling kotor disekeliling mereka dibiarkan begitu saja.

*******

Sudah dua hari ini tak kudapati anak itu membersihkan, dedaunan kering dan sampah plastik memenuhi halaman. Dia hanya berlalu dari dalam Sekretariat itu menuju kendaraan seolah tak peduli lagi dengan kebersihan, dia tak lagi mengomel dan menggerutu kepadaku, tak ada lagi sumpah serapah keluar dari moncongnya. Mungkin dia sudah lelah melakukan rutinitas itu, lagipula percuma juga dia membersihkan setiap harinya jika kawan-kawannya justru sibuk nyampah dihalaman  ini. Sekali lagi kebersihan disekrtariat ini hanyalah slogan-slogan dalam benak mereka, Aku tak begitu peduli. Aku hanyalah pohon rambutan  yang jika musim buah si idam-idamkan dan jika musim buah telah berlalu aku bukan lagi siapa-siapa dalam benak mereka.

"Kau boleh senang pohon, tapi bagaimana dengan nasibku, sudah kodratku untuk diciptakan sebagai sapu, membersihankan segala hal yang dianggap manusia sebagai sampah. Dan sekarang aku tak lagi digunakan, aku tinggal menunggu sampai jamur memakan tubuhku hingga hancur seperti sapu-sapu lainnya yang pernah menghuni sekretariat ini". curhatan sapu lidi begitu lirih dan terdengar begitu menyedihkan, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya sebatang pohon yang bergerak jika digerakkan oleh hempasan angin, curhat kepadaku tak akan menghasilkan apa-apa, terimalah saja nasibmu.