masukkan script iklan disini
pic by pixabay |
Oleh: Arlansyah
Wasekum Kabid KPP HMI Komisariat Adab Periode 1437-1438 H/2016-2017 M
Krisis ekonomi Asia 1997-1998 mengiring
dampak mengerikan ke Indonesia.
Negeri dengan kepadatan
penduduk terpadat di Asia tenggara. Jutaan pengangguran dan kemiskinan
bermunculan di pelosok-pelosok negeri.
Semenjak krisis ekonomi dan moneter di tahun 1998 pada masa orde baru di bawah kepemimpinan presiden Soeharto membludak,
dampak dari krisis tersebut mengancam basic security (rasa tentram) masyarakat,
sehingga akibat krisis tersebut masyarakat menuntut perubahan dengan segera
menurunkan presiden soeharto turun dari bangku jabatannya.
Tetapi alhasil pasca mundurnya Soeharto dari jabatannya
sejak 1967-1998 tersebut, alih-alih membawa konsekuensi politis. Yaitu
keterbukaan negara terhadap pihak swasta seperti WTO (World Trade
Organization), dan Bretton Woods, Bank Dunia serta IMF (International
Moneteary Fund) dengan melalui orientasi neoliberal atau ekonomi politk,
menuju ke arah kapitalisasi,
privatisasi, dan liberalisasi. Dibeberapa sektor salah satunya yaitu, pembangunan atau dalam
istilah Rostow (Development
). Tak pelak lagi semenjak keterbukaan negara terhadap pihak organisasi dunia
atau pihak swasta tersebut yg di motori oleh negara berkembang seperti Amerika
Serikat, dan negara maju lainnya
dan memunculkan masalah sosial yang baru begitu akut,
sehingga menimbulkan krisis berkepanjangan terhadap kehidupan masyarakat.
Karena setelah kesepakatan bersama
korporasi multinasional, sektor swasta World Bank,WTO, dan IMF sangat
mendatangkan serentak keuntungan dan
malapetaka sekaligus. Adapun keuntungan yang didapatkan oleh negara semenjak
kerja sama terhadap pihak swasta tersebut yaitu negara akan dipulihkan sektor
proyek pembangunan melalui pinjaman dana yang dikucurkan oleh Bank Dunia (WB)
untuk menunjang perekonomiannya, begitu juga dengan IMF yang memberikan
pinjaman bagi negara-negara yang mengalami kesulitan dalam persoalan pembayaran
luar negri, dan di susul pula dengan WTO yang memiliki fungsi mengatur sektor
perdagangan global.
Sejak bantuan yang dikucurkan oleh organisasi
dunia tersebut, negara mula-mula mengembangkan pembangunannya sebagai penunjang
perekonomiannya dan untuk mengatasi soal kemiskinan dan keterbelakangan. Tetapi
perlu kita ketahui bersama bahwa kebijakan pembangunan di Indonesia sebelumnya
sudah terjadi secara besar-besaran di negara-negara dunia ke tiga setelah tahun
1970. Sedangkan untuk para ilmuan pembangunan biasa di artikan dengan
beralihnya masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern, (re; rekayasa sosial, jalaluddin Rahmat).
Menurut Fakih (1996), pembangunan
menjanjikan harapan baru bagi
perubahan dan perbaikan dalam nasib kehidupan manusia. Arif Budiman (1995),
membagi teori pembangunan menjadi tiga, yaitu, teori modernisasi, dependensi dan
pascadepedensi. Teori modernisasi
menekankan pada faktor manusia dan budayanya yang memmpunyai elemen
fundamental dalam proses pembangunan.
Proses
pembangunan yang ingin di terapkan di negara sedang berkembang (NSB) seperti Indonesia, sangatlah
kapitalistik yang cenderung kepada kepemilikan aset pribadi, dan pembangunan
dilihat sebagai penunjang ekonomi global yang hanya mementingkan
kelompok-kelompok tertentu seperti korporasi dunia, para pemilik modal dan
kelompok borjuasi kaum
Aristokrat (bangsawan).
Bagaimana tidak negara sedang berkembang
seperti Indonesia yang memiliki
sumber daya alam (SDA) yang berlimpah, kawasan Agraris yang luas dan negara
terpadat penduduk ke empat dunia,
sangat menjadi lahan yang empuk bagi negara berkembang dan memiliki watak
kapitalis untuk melakukan liberalisasi, privatisasi dan kapitalisasi melalui
eksploitasi besar-besaran untuk melindungi dan mengamankan investasi modalnya.
Maka dampak dari itu semua wilayah-wilayah Indonesia
yang mempumyai sumber daya alam yang berlimpah dan wilayah agraris yang begitu luas, yang
semuanya itu dapat di kuasai oleh korporasi-korporasi asing akibat dari
keterbukaan negara terhadap kebijakan organisasi dunia.
Kondisi masyarakatnya pun tidak terelakkan
menuju garis kemiskinan yang massif dan jauh dari kata sejahtera, akibat dari
pembangunan yang dilancarkan oleh negara,
dimana tempat mereka tinggal dan bertahan hidup demi kelangsungan hidupnya
diambil oleh negara atas nama kestabilan ekonomi melalui pembangunan, baik itu
di wilayah pedesaan maupun perkotaan. Di sini kita bisa melihat bahwa kebijakan
pembangunan yang di jalankan di negara sedang berkembang seperti indonesia,
tidak mengedepankan aspek-aspek perkembangan dan kualitas manusianya tapi
justru mengembangkan produktifitas pemodal untuk mengais keuntungan melalui
kerja sama pihak swasta dengan penerapan pembangunan.
Oleh karena itu untuk membendung laju
pembangunan yang tidak berkeadilan yang tidak berpihak kepada masyarakat kecil
di pedesaan dan kaum miskin diperkotaan, kita harus bahu-membahu untuk
melakukan reformasi pembangunan yang
pro terhadap kelas bawah bukan kepada kaum kelas atas atau para Aristokrat
borjuasi. Karena pembangunan untuk masyarakat bukan untuk pemodal.