Iklan

Pendidikan dan Kebijakan di Kampus Peradaban

Lapmi Ukkiri
21 October 2018
Last Updated 2020-06-23T04:28:27Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates
masukkan script iklan disini


Oleh: Askar Nur

Kontradiksi dalam arena yang terikat dengan konstitusi kerap terjadi. Penerapan aturan atau konstitusi tidak terlepas daripada landasan yang jelas dan akurat serta tidak kalah penting pula bagi yang menerapkan atau menjalankan aturan untuk memahami segala sesuatunya tentang aturan yang dibuat terutama relevansi antara aturan dengan kondisi saat ini. Dunia pendidikan menjadi salah satu bidang yang menitikberatkan persoalan konstitusi. Pendidikan sebagai hak asasi manusia diakui dan dilindungi oleh negara. Mencerdaskan kehidupan bangsa yang termaktub dalam Alinea pembukaan UUD 1945 menjadikan pendidikan sebagai cita-cita nasional bangsa Indonesia. Pendidikan itu sendiri diatur secara tersendiri dalam UUD 1945 Bab XA tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28C Ayat 1, Pasal 28E Ayat 1 dan Pasal 28I Ayat 4 serta Bab XII tentang Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 31. Kemudian ditindaklanjuti amanat konstitusi tersebut dengan dibentuknya UU Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah yang telah diganti menjadi UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang kemudian diganti lagi menjadi UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

UU Sisdiknas memuat penyelenggaraan pendidikan secara berjenjang mulai dari pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Penyelenggaraan pendidikan tinggi melalui perguruan tinggi berdasarkan pada UU Nomor 12 Tahun 2012 dan Pasal 24 UU Sisdiknas. Namun, sistem dan kondisi perguruan tinggi di Indonesia masih diselimuti berbagai macam permasalahan sekaligus menjadi masalah bangsa Indonesia yakni hak konstitusional dan tanggung jawab negara dalam pendidikan.

Pada Pasal 24 Ayat 2 UU Sisdiknas mengenai otonomi perguruan tinggi untuk mengelola sendiri lembaganya yang kemudian dijelaskan lebih lanjut pada Pasal 53 UU Sisdiknas. Dari kedua pasal tersebut yakni Pasal 24 Ayat 2 dan Pasal 53 UU Sisdiknas mengandung unsur kemandirian/otonomi pendidikan tinggi pada perguruan tinggi. Kemudian amanat pasal-pasal tersebut ditindaklanjuti dengan dibentuknya UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.

UU BHP menjadi bentuk pelepasan tanggung jawab negara dalam pendidikan, melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa UU BHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sejak tanggal 31 Maret 2010. Dengan dibatalkannya UU BHP, ini mencerminkan bahwa Pembentuk Undang-undang tidak memperhatikan rekomendasi dari MK. Putusan MK Nomor 021/PUU-IV/2006, tanggal 22 Februari 2007 memberikan rekomendasi penyusunan undang-undang mengenai pendidikan harus mempertimbangkan:

1)      Aspek fungsi negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, hak dan kewajiban konstitusional dalam bidang pendidikan;
2)      Aspek filosofis sebagai cita-cita untuk membangun sistem pendidikan nasional, aspek sosiologis terkait dengan realitas penyelenggaraan pendidikan, aspek yuridis;
3)      Aspek pengaturan harus merupakan implementasi tanggung jawab negara dan kewajiban konstitusional negara di bidang pendidikan; serta
4)      Aspek aspirasi masyarakat

Setelah pencabutan UU BHP, Pada tahun 2010, pemerintah mengajukan satu UU baru yang menggantikan UU BHP tersebut: UU Pendidikan Tinggi (UUPT). UUPT tersebut mengatur beberapa hal yang telah dibatalkan dari UU sebelumnya. Kendati direspons dengan berbagai penolakan, UU ini disahkan DPR pada tanggal 13 Juli 2012. Penolakan dan Gugatan terhadap UUPT terus dilayangkan oleh masyarakat sipil dan mahasiswa sampai ke tingkat MK.

UUPT dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Keputusan ini adalah pukulan berat bagi masyarakat Indonesia yang menuntut keadilan di sektor pendidikan. UUPT merupakan wajah baru dari UU BHP dengan substansi yang sama dan secara jelas melepaskan tanggung jawab negara dalam pendidikan dengan menerapkan otonomi/kemandirian perguruan tinggi.

Diberlakukannya otonomi kampus dimana setiap universitas diberi kewenangan untuk mengelola berbagai kegiatan pendidikan di kampusnya masing-masing telah mengakibatkan berbagai aspek negatif yang tidak memihak rakyat kecil atau kaum miskin. Banyak anak didik dari golongan miskin yang sebetulnya pintar dan cerdas harus tersingkir dari bangku kuliah suatu universitas.

Beberapa Dampak dari Penerapan Otonomi Kampus

UKT Mahal

Otonomi kampus adalah bentuk usaha cuci tangan pemerintah terhadap tanggung jawabnya dalam menyelenggarakan pendidikan gratis dan merata bagi seluruh rakyat. Dari sisi akademik, pemerintah kemudian mencoba mencari alasan pembenaran kebijakan pengurangan subsidi itu.
Sebagai contoh, kenaikan UKT di salah satu jurusan yang ada di UIN Alauddin Makassar setiap tahunnya:


Data di tabel di atas dihimpun dari lampiran keputusan Menteri Agama tentang UKT-BKT dari tahun 2013-2018. Silahkan simak kenaikan besaran UKT dari masing-masing kategori setiap tahunnya, pertanyaan mendasar adalah apa yang menyebabkan kenaikan besaran UKT setiap tahunnya? Itulah jawaban yang sampai hari ini belum bisa terjawab. Dari melihat kondisi lapangan maka bisa dipastikan bahwa dampak positif yang ditimbulkan dari kenaikan UKT setiap tahunnya terhadap mahasiswa masih nihil karena tidak ada perubahan yang signifikan yang terjadi, mungkin bisa dilihat dari segi fasilitas ruang kuliah yang tidak memadai. Selanjutnya, seperti diketahui secara bersama bahwa sistem UKT-BKT merupakan sistem yang berlaku mulai semester 1 – 8 dengan berdasarkan pada kondisi perekonomian orang tua mahasiswa dan kebutuhan mahasiswa di prodi/jurusan serta menjalankan prinsip keadilan dan keaktifan.

Oleh karena itu, beranjak dari esensi UKT maka perlu kiranya ada pertimbangan dari pihak kampus mengenai mahasiswa semester 9 ke atas meliputi mahasiswa angkatan 2013 dan 2014 dalam hal pembayaran biaya kuliah. Mahasiswa semester 9 keatas terdiri dari mahasiswa yang hanya mengambil tugas akhir beberapa SKS dan 0 SKS pada mata kuliah lain, mahasiswa telah menyelesaikan tugas akhir dan tinggal menunggu periode wisuda dan mahasiswa yang hanya mengambil beberapa mata kuliah. UKT berdasarkan kebutuhan dan memiliki prinsip yang berkeadilan serta keaktifan, maka pimpinan kampus harus memberikan keringan pembayaran biaya kuliah bagi semester 9 ke atas.

Pemadatan kurikulum

Kondisi diatas kemudian makin mengarahkan mahasiswa untuk disiapkan menjadi pekerja di dunia industri. Kurikulum dari setiap jurusan semakin dipadatkan dan diselaraskan dengan kebutuhan pasar. Mahasiswa dipaksa lulus secepat-cepatnya, dengan dibebani banyak tugas perkuliahan dan untuk mendukung itu maka diterapkan sistem perkuliahan Blok dimana mahasiswa dituntut untuk belajar kurang lebih 9 jam perhari selama 1 minggu untuk 1 mata kuliah sehingga tidak memiliki waktu luang untuk beraktivitas di luar dan lebih parahnya dikeluarkan Surat Keputusan perihal larangan beraktivitas di luar kampus dalam bentuk apapun untuk semester 1 dan 2 dengan alasan agar IPK mahasiswa tidak turun dan untuk menghindari kasus perpeloncoan terhadap mahasiswa baru. Namun kedua alasan tersebut tidak relevan dengan kondisi saat ini. Kalaupun alasan beraktivitas di luar kampus ataupun berorganisasi, pertanyaan yang kemudian muncul bukankah esensi dalam berorganisasi adalah bagaimana mahasiswa bisa mengatur waktu?

Kebijakan Drop-Out

Dengan logika liberalisme, maka mahasiswa yang tidak mampu membayar kuliah harus keluar dari dunia pendidikan atau bagi yang tidak membayar kuliah sesuai waktu yang ditentukan maka dinyatakan non aktif dan bisa aktif kembali mengikuti semester berjalan dengan persyaratan membayar semester yang ditinggalkan atau dengan kata lain membayar double. Otonomi kampus juga melahirkan evaluasi akademik yang berujung Drop Out (DO) bagi yang tidak bisa melampaui kurikulum yang telah diterapkan atau dengan kata lain IPK yang tidak mencukupi 2.00 dalam waktu 2 semester. Kebijakan DO dengan dalih hasil evaluasi studi ini sesungguhnya merupakan bentuk penjagaan akreditasi di mata pemerintah dan investor.

Freire mengemukakan jika, bukanlah pendidikan yang dibentuk oleh masyarakat dengan cara tertentu tapi yang mana masyarakat, mempunyai struktur sendiri untuk arahan tertentu, menciptakan sebuah sistem pendidikan yang menyesuaikan dengan nilai yang sesuai pedoman masyarakat.Pendidikan pada hakikatnya merupakan sebuah cara untuk memahami dunia, lingkungan sekitar dan diri sendiri. Pada dasarnya pendidikan, ialah mendidik, atau memberikan pengetahuan terkait realitas.

Namun seringkali kita menemukan pendidikan bukan lagi mendidik atau memberikan pengetahuan, namun lebih kepada mengarahkan agar sesuai dengan sistem yang telah terbentuk. Baik dalam sebuah domain masyarakat yang berbasis budaya setempat, ataupun hegemoni penguasa.


Referensi:
Freire, 1975, Education for liberation, hal 16. Dapat di akses di
http://acervo.paulofreire.org:8080/jspui/bitstream/7891/1139/3/FPF_OPF_01_0001.pdf
Hadi Supeno, Pendidikan Dalam Belenggu Kekuasaan, Pustaka Paramedia, 1999, hlm 64
Brodjonegoro, Satryo Soemantri. 2012. Otonomi Perguruan Tinggi: Suatu Keniscayaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Rencana Strategis 2004-2009. Jakarta: Depdiknas.
Freire, Paulo. 1983. Pendidikan Kaum Tertindas. (Terj. Roem Topatimasang). Jakarta: LP3ES.
Pidarta, Made. 2013. Landasan Kependidikan, Stimulis Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Peraturan Menteri Agama tentang UKT-BKT tahun 2013-2018
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009
Putusan MK Nomor 021/PUU-IV/2006, tanggal 22 Februari 2007 memberikan rekomendasi penyusunan undang-undang mengenai pendidikan
Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
https://medium.com/lingkaran-solidaritas/pedagogi-pendidikan-tinggi-gerbang-menuju-komersialisasi-1c66c12ef708


iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl