masukkan script iklan disini
Oleh: Askar Nur
Kontradiksi
dalam arena yang terikat dengan konstitusi kerap terjadi. Penerapan aturan atau
konstitusi tidak terlepas daripada landasan yang jelas dan akurat serta tidak
kalah penting pula bagi yang menerapkan atau menjalankan aturan untuk memahami
segala sesuatunya tentang aturan yang dibuat terutama relevansi antara aturan
dengan kondisi saat ini. Dunia pendidikan menjadi salah satu bidang yang
menitikberatkan persoalan konstitusi. Pendidikan sebagai hak asasi manusia diakui
dan dilindungi oleh negara. Mencerdaskan kehidupan bangsa yang termaktub dalam
Alinea pembukaan UUD 1945 menjadikan pendidikan sebagai cita-cita nasional
bangsa Indonesia. Pendidikan itu sendiri diatur secara tersendiri dalam UUD
1945 Bab XA tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28C Ayat 1, Pasal 28E Ayat 1 dan
Pasal 28I Ayat 4 serta Bab XII tentang Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 31.
Kemudian ditindaklanjuti amanat konstitusi tersebut dengan dibentuknya UU Nomor
4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah yang
telah diganti menjadi UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
yang kemudian diganti lagi menjadi UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
UU
Sisdiknas memuat penyelenggaraan pendidikan secara berjenjang mulai dari
pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Penyelenggaraan pendidikan tinggi
melalui perguruan tinggi berdasarkan pada UU Nomor 12 Tahun 2012 dan Pasal 24
UU Sisdiknas. Namun, sistem dan kondisi perguruan tinggi di Indonesia masih
diselimuti berbagai macam permasalahan sekaligus menjadi masalah bangsa
Indonesia yakni hak konstitusional dan tanggung jawab negara dalam pendidikan.
Pada
Pasal 24 Ayat 2 UU Sisdiknas mengenai otonomi perguruan tinggi untuk mengelola
sendiri lembaganya yang kemudian dijelaskan lebih lanjut pada Pasal 53 UU
Sisdiknas. Dari kedua pasal tersebut yakni Pasal 24 Ayat 2 dan Pasal 53 UU
Sisdiknas mengandung unsur kemandirian/otonomi pendidikan tinggi pada perguruan
tinggi. Kemudian amanat pasal-pasal tersebut ditindaklanjuti dengan dibentuknya
UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.
UU
BHP menjadi bentuk pelepasan tanggung jawab negara dalam pendidikan, melalui
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 menyatakan
bahwa UU BHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum
yang mengikat sejak tanggal 31 Maret 2010. Dengan dibatalkannya UU BHP, ini
mencerminkan bahwa Pembentuk Undang-undang tidak memperhatikan rekomendasi dari
MK. Putusan MK Nomor 021/PUU-IV/2006, tanggal 22 Februari 2007 memberikan
rekomendasi penyusunan undang-undang mengenai pendidikan harus mempertimbangkan:
1)
Aspek
fungsi negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, hak dan kewajiban konstitusional
dalam bidang pendidikan;
2)
Aspek
filosofis sebagai cita-cita untuk membangun sistem pendidikan nasional, aspek
sosiologis terkait dengan realitas penyelenggaraan pendidikan, aspek yuridis;
3)
Aspek
pengaturan harus merupakan implementasi tanggung jawab negara dan kewajiban
konstitusional negara di bidang pendidikan; serta
4)
Aspek
aspirasi masyarakat
Setelah
pencabutan UU BHP, Pada tahun 2010, pemerintah mengajukan satu UU baru yang
menggantikan UU BHP tersebut: UU Pendidikan Tinggi (UUPT). UUPT tersebut
mengatur beberapa hal yang telah dibatalkan dari UU sebelumnya. Kendati
direspons dengan berbagai penolakan, UU ini disahkan DPR pada tanggal 13 Juli
2012. Penolakan dan Gugatan terhadap UUPT terus dilayangkan oleh masyarakat
sipil dan mahasiswa sampai ke tingkat MK.
UUPT
dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Keputusan ini adalah pukulan
berat bagi masyarakat Indonesia yang menuntut keadilan di sektor pendidikan.
UUPT merupakan wajah baru dari UU BHP dengan substansi yang sama dan secara
jelas melepaskan tanggung jawab negara dalam pendidikan dengan menerapkan
otonomi/kemandirian perguruan tinggi.
Diberlakukannya
otonomi kampus dimana setiap universitas diberi kewenangan untuk mengelola
berbagai kegiatan pendidikan di kampusnya masing-masing telah mengakibatkan
berbagai aspek negatif yang tidak memihak rakyat kecil atau kaum miskin. Banyak
anak didik dari golongan miskin yang sebetulnya pintar dan cerdas harus
tersingkir dari bangku kuliah suatu universitas.
Beberapa
Dampak dari Penerapan Otonomi Kampus
UKT Mahal
Otonomi
kampus adalah bentuk usaha cuci tangan pemerintah terhadap tanggung jawabnya
dalam menyelenggarakan pendidikan gratis dan merata bagi seluruh rakyat. Dari
sisi akademik, pemerintah kemudian mencoba mencari alasan pembenaran kebijakan
pengurangan subsidi itu.
Sebagai
contoh, kenaikan UKT di salah satu jurusan yang ada di UIN Alauddin Makassar
setiap tahunnya:
Data
di tabel di atas dihimpun dari lampiran keputusan Menteri Agama tentang UKT-BKT
dari tahun 2013-2018. Silahkan simak kenaikan besaran UKT dari masing-masing
kategori setiap tahunnya, pertanyaan mendasar adalah apa yang menyebabkan
kenaikan besaran UKT setiap tahunnya? Itulah jawaban yang sampai hari ini belum
bisa terjawab. Dari melihat kondisi lapangan maka bisa dipastikan bahwa dampak
positif yang ditimbulkan dari kenaikan UKT setiap tahunnya terhadap mahasiswa
masih nihil karena tidak ada perubahan yang signifikan yang terjadi, mungkin
bisa dilihat dari segi fasilitas ruang kuliah yang tidak memadai. Selanjutnya,
seperti diketahui secara bersama bahwa sistem UKT-BKT merupakan sistem yang
berlaku mulai semester 1 – 8 dengan berdasarkan pada kondisi perekonomian orang
tua mahasiswa dan kebutuhan mahasiswa di prodi/jurusan serta menjalankan
prinsip keadilan dan keaktifan.
Oleh
karena itu, beranjak dari esensi UKT maka perlu kiranya ada pertimbangan dari
pihak kampus mengenai mahasiswa semester 9 ke atas meliputi mahasiswa angkatan
2013 dan 2014 dalam hal pembayaran biaya kuliah. Mahasiswa semester 9 keatas
terdiri dari mahasiswa yang hanya mengambil tugas akhir beberapa SKS dan 0 SKS
pada mata kuliah lain, mahasiswa telah menyelesaikan tugas akhir dan tinggal
menunggu periode wisuda dan mahasiswa yang hanya mengambil beberapa mata
kuliah. UKT berdasarkan kebutuhan dan memiliki prinsip yang berkeadilan serta
keaktifan, maka pimpinan kampus harus memberikan keringan pembayaran biaya
kuliah bagi semester 9 ke atas.
Pemadatan
kurikulum
Kondisi
diatas kemudian makin mengarahkan mahasiswa untuk disiapkan menjadi pekerja di dunia
industri. Kurikulum dari setiap jurusan semakin dipadatkan dan diselaraskan
dengan kebutuhan pasar. Mahasiswa dipaksa lulus secepat-cepatnya, dengan dibebani
banyak tugas perkuliahan dan untuk mendukung itu maka diterapkan sistem
perkuliahan Blok dimana mahasiswa dituntut untuk belajar kurang lebih 9 jam
perhari selama 1 minggu untuk 1 mata kuliah sehingga tidak memiliki waktu luang
untuk beraktivitas di luar dan lebih parahnya dikeluarkan Surat Keputusan
perihal larangan beraktivitas di luar kampus dalam bentuk apapun untuk semester
1 dan 2 dengan alasan agar IPK mahasiswa tidak turun dan untuk menghindari
kasus perpeloncoan terhadap mahasiswa baru. Namun kedua alasan tersebut tidak
relevan dengan kondisi saat ini. Kalaupun alasan beraktivitas di luar kampus
ataupun berorganisasi, pertanyaan yang kemudian muncul bukankah esensi dalam
berorganisasi adalah bagaimana mahasiswa bisa mengatur waktu?
Kebijakan
Drop-Out
Dengan
logika liberalisme, maka mahasiswa yang tidak mampu membayar kuliah harus
keluar dari dunia pendidikan atau bagi yang tidak membayar kuliah sesuai waktu
yang ditentukan maka dinyatakan non aktif dan bisa aktif kembali mengikuti
semester berjalan dengan persyaratan membayar semester yang ditinggalkan atau
dengan kata lain membayar double. Otonomi kampus juga melahirkan evaluasi
akademik yang berujung Drop Out (DO) bagi yang tidak bisa melampaui kurikulum
yang telah diterapkan atau dengan kata lain IPK yang tidak mencukupi 2.00 dalam
waktu 2 semester. Kebijakan DO dengan dalih hasil evaluasi studi ini
sesungguhnya merupakan bentuk penjagaan akreditasi di mata pemerintah dan
investor.
Freire
mengemukakan jika, bukanlah pendidikan yang dibentuk oleh masyarakat dengan
cara tertentu tapi yang mana masyarakat, mempunyai struktur sendiri untuk
arahan tertentu, menciptakan sebuah sistem pendidikan yang menyesuaikan dengan
nilai yang sesuai pedoman masyarakat.Pendidikan pada hakikatnya merupakan
sebuah cara untuk memahami dunia, lingkungan sekitar dan diri sendiri. Pada
dasarnya pendidikan, ialah mendidik, atau memberikan pengetahuan terkait
realitas.
Namun
seringkali kita menemukan pendidikan bukan lagi mendidik atau memberikan pengetahuan,
namun lebih kepada mengarahkan agar sesuai dengan sistem yang telah terbentuk.
Baik dalam sebuah domain masyarakat yang berbasis budaya setempat, ataupun
hegemoni penguasa.
Referensi:
Freire, 1975, Education for liberation, hal 16. Dapat di akses di
http://acervo.paulofreire.org:8080/jspui/bitstream/7891/1139/3/FPF_OPF_01_0001.pdf
Freire, 1975, Education for liberation, hal 16. Dapat di akses di
http://acervo.paulofreire.org:8080/jspui/bitstream/7891/1139/3/FPF_OPF_01_0001.pdf
Hadi
Supeno, Pendidikan Dalam Belenggu Kekuasaan, Pustaka Paramedia, 1999, hlm
64
Brodjonegoro, Satryo Soemantri. 2012. Otonomi Perguruan Tinggi: Suatu Keniscayaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Brodjonegoro, Satryo Soemantri. 2012. Otonomi Perguruan Tinggi: Suatu Keniscayaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Departemen Pendidikan
Nasional. 2005. Rencana Strategis 2004-2009. Jakarta: Depdiknas.
Freire, Paulo. 1983. Pendidikan Kaum Tertindas. (Terj. Roem Topatimasang). Jakarta: LP3ES.
Pidarta, Made. 2013. Landasan Kependidikan, Stimulis Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Freire, Paulo. 1983. Pendidikan Kaum Tertindas. (Terj. Roem Topatimasang). Jakarta: LP3ES.
Pidarta, Made. 2013. Landasan Kependidikan, Stimulis Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Peraturan Menteri Agama
tentang UKT-BKT tahun 2013-2018
Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009
Putusan MK Nomor
021/PUU-IV/2006, tanggal 22 Februari 2007 memberikan rekomendasi penyusunan
undang-undang mengenai pendidikan
Undang-Undang No. 12
Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
https://medium.com/lingkaran-solidaritas/pedagogi-pendidikan-tinggi-gerbang-menuju-komersialisasi-1c66c12ef708