masukkan script iklan disini
Pic by pixabay |
Percayalah, tidak ada yang sesakit aku setelah
seseorang menyatakan cinta padaku lalu esok harinya batok kepalanya tak lagi
nampak. Sama sekali tak nampak dalam beberapa bulan, tahun, bahkan mungkin
selama-lamanya. Ia hanya menyisakan pesan yang sebenarnya belum kubaca waktu aku
sungguh tak mengetahui bahwa ia pergi, “Hanii … Haniii …” pesan singkat itu
datang dua kali dan mendarat tepat di gawaiku.
Alasanku tidak membacanya karena saat itu aku
sendang berada di depan tumpukan buku yang akan kubeli. “Mati saja kau lelaki
kurang ajar,” pekikku saat memegang buku Gadis Pantai dan mendegar gawaiku
berbunyi. “Aku sedang membeli buku sesuai anjuranmu.”
Aku tak ingin menyentuh gawaiku saat berada di toko
buku tersebut. Bukan karena aku tak ingin membalasnya, melainkan buku Gadis
Pantai yang sedang ku pegang menuntut untuk ditebus pada kasir. Pikiranku tak
telalu cemas saat tak ingin membalas pesannya. Sebab pengalaman telah
mendikteku banyak hal tentang seseorang lelaki, jika ia jatuh cinta pada
perempuan, maka niscaya bunyi gawai si perempuan akan menghantuinya setiap ia
mengabaikan pesan si lelaki. Itu hukum yang pasti. Mengalahkan hukum gravitasi
Newton.
Lagi pula, aku tahu betul lelaki itu (aku muak
mengatakan namanya) setelah membaca rahasia pribadinya, bahkan paling pribadi.
Dari kisah cintanya, keluarganya, ternak lelenya, mantan kekasihnya, begitupun
dengan caranya memakai celana dalam setelah menonton video esek-esek. Aku baru
tahu ada lelaki seperti itu. Ia rela memberikan harta terakhirnya kepada
seseorang yang selalu mengacuhkan cintanya. Sebenarnya aku tak mengacuhkannya.
Hanya sedikit mengulur waktu dan berharap waktu akan membuatku yakin pada
cintanya.
Ia lelaki yang sangat rapi, serapi seseorang yang
akan berangkat ke tempat kerjanya
pertama kali. Kesehariannya hanya ia habiskan di dalam perpustakaan. Berkunjung
pada perpustakaan satu ke yang lainnya. Rambutnya yang tiap hari ia olesi
pomade, akan membohongi siapapun pada kesan pertama bertemu dengannya. Tak
seperti kebanyakan pembaca buku, ia tak berpenampilan urakan. Bersih, sebersih
cintaku padanya saat itu yang sedang menunggu waktu untuk mekar. Dan hal yang
paling membuatku jatuh cinta adalah, ia mau-mau saja dibodohi olehku.
Pernah suatu hari, saat aku sedang berada di rumah,
ia datang dengan telur empat biji di dalam kantong yang sobek sehingga hampir
menjatuhkan seluruh isi kantong itu. Aku sama sekali tak mengerti mengapa ia
membawakanku telur empat biji itu ke rumah, padahal di rumah segala macam
makanan selalu tersedia. Pesanku pada gawainya juga tak pernah memintanya untuk
membawa telur itu. Ia tiba di rumah bersama dengan rambutnya yang mengkilat
minta ampun dan membuatku sedikit jengkel karena aku bisa bercermin pada rambut
itu dan melihat wajahku yang amburadul.
Ketika aku bertanya untuk apa telur itu, ia hanya
tersenyum sehingga giginya yang juga begitu mengkilat membuatku sangat jengkel
pada wajahku karena di sana masih ada bekas liurku akibat baru bangun. Memang
kurang ajar lelaki ini. Saat aku baru bangun pun ia membawakanku telur tanpa ku
tahu sebabnya.
Maka sekali lagi aku bertanya, dan berharap tidak
ada lagi bagian dari tubuhnya yang mengkilat, “Untuk apa telur itu?”
“Untuk jidatmu yang lebar seperti lapangan futsal.”
Ia berkata sambil mendaratkan keempat telur itu menuju jidatku lalu
melanjutkan, “Selamat ulang tahun Hani.”
“Kurang ajar. Aku berbohong soal hari itu dan kau
mempercayainya!”
Seluruh lelaki cerdas di dunia, secerdas apapun
cerdasnya, otaknya seketika menjelma menjadi telur kodok saat berhadapan dengan
perempuan yang ia cintai. Seperti yang terjadi pada lelaki kurang ajar itu. Betapa
tidak, setiap aku bertemu dengannya, pasti pembahasan tak lain hanya soal untuk
apa manusia hidup. Pertanyaan yang membuat seluruh umat manusia malah tidak
menemukan jawabannya melainkan menghamburkan peluru. Ia hanya bercerita soal
itu. Melulu soal itu
Kadang, sebagai perempuan aku mempertanyakan
kelaki-lakiannya. Hobinya berdiskusi membuat otakku rontok. Logikaku tidak
berguna di hadapannya. Bisa dibayangkan, saat aku sedang duduk berdua dengannya
di depan toko buku, ia menjelaskan padaku perihal keinginannya memiliki
cintaku. Gayanya yang sok filosofis itu membuatku hampir muntah.
“Apa yang dicintai oleh cinta?” Ia bertanya.
“Apa?”
“Pertanyaan butuh jawaban, bukan pertanyaan
kembali.”
Maka aku berpikir. Sebenarnya bukan berpikir,
melainkan hanya memandangi matanya. Aku malah bertanya-tanya. Apakah lelaki ini
tak bisa berkata sederhana saja padaku mengatakan, aku cinta padamu?
Sesederhana itu.
“Aku menyerah,” kata ku.
“Cinta mencintai dirinya. Dan sialnya aku temukan
diriku pada dirimu.”
Lihatlah, ia bahkan tak bisa menyederhanakan
kalimatnya. Padahal jika ia berkata aku cinta padamu saat itu pasti akan
kujawab, “aku juga.” Namun karena tak bisa mencerna kalimatnya, aku tak
mengatakan apapun. Bahkan aku hanya diam menatap kosong pada jariku sendiri
yang sesekali jengkel ingin menampar wajahnya.
Ada yang aku sangat sesali dari perlakuanku padanya.
Tiga hari setelah pembahasan filosofis yang kurang asyik itu, aku
mengunjunginya di perpustakaan. Ia tidak sedang membaca saat itu. Hanya mencari
sesuatu yang mungkin hilang. Aku mendekat padanya. Bertanya tentang apa yang ia
cari. Dan benar saja, ia sedang mencari buku hariannya yang ku ambil diam-diam
darinya sejak perbincangan kami di toko buku.
Ia tetap rapi serapi-rapinya bahkan saat sedang
bingung mencari sesuatu. Ia mencari buku itu dari rak satu ke rak yang lain.
Kadang ke toilet atau bertanya pada setiap pengunjung perpustakaan hari itu. Ia
tampak lelah mencari. Rambutnya mulai berantakan meski hanya dua helai. Aku
begitu iba melihatnya bingung seperti itu. Meski buku itu ku tahu ada di dalam
tasku, aku masih ingin memegangnya, setidaknya sampai melihatnya menangis.
Tangisan lelaki kadang menjadi tontonan yang menarik. Apalagi bila itu dari
mata si lelaki cerdas tapi bodoh yang sedang mencari buku hariannya.
Lelah menunggu air mata itu, aku memberi bukunya
saat ia hendak menuju ke lantai selanjutnya pada perpustakaan. Sebaiknya
melihat senyumnya ketimbang air matanya. Saat kuberi buku itu, yang nampak
padanya hanya tumpuka emosi. Serasa ia ingin membopongku ke lantai empat
perpustakaan lalu melemparku begitu saja dari sana.
“Pencuri!” Hardiknya, “kemarin hatiku yang kau curi.
Sekarang kau sudah berani membaca seluruh harta terakhirku pada buku itu ketika
cintaku bahkan tak kau pedulikan.”
Yang terjadi malah sebaliknya. Air mataku lah yang
ia tonton. Mengucur deras membasahi tiap inci bedak pada pipiku. Aku tak
mengerti apa itu rahasia pribadi. Bagiku itu hanya tumpukan penyesalan dari
seseorang yang tak punya pengakuan sosial. Tak ada rahasia pada diri seseorang.
Omong kosong tentang rahasia, pada akhirnya seseorang akan menceritakannya
juga. Entah pada kekasihnya, pada sahabatnya, atau pada hewan ternaknya
sekalian.
“Bahkan Tuhan tak pernah mau tahu isi buku itu.” Ia
mengambil bukunya lalu pergi begitu saja.
Dan kini, setelah ia mengatakan cinta padaku lalu
pergi sehari setelah mengatakan itu, ia membuat air mataku mengucur bahkan sampai
pada ujung jari kaki. Memang lelaki kurang ajar.
Setelah kejadian di perpustakaan, aku tak pernah
lagi berbicara dengannya. Jangankan berbicara, bertemu pun juga tidak. Aku tahu
ia masih menyimpan setumpuk amarah yang suatu waktu bendungan amarah itu pecah
lalu membanjiriku sekali lagi. Lalu tibalah malam itu, ketika ia tiba-tiba
berada di depan rumahku lagi.
Ia mengetuk pintu lalu aku membukanya.
“Jangan bilang kau membawa telur,” kataku, karena
saat itu barulah hari ulang tahunku.
“Kau bahkan tak pernah meminta maaf atas perlakuanmu
padaku.”
Aku bersyukur, karena ia tak mengetahui hari itu.
“Lantas apa yang membawamu kemari?”
“Di mana cintaku kau simpan?”
“Pertanyaan butuh jawaban, bukan pertanyaan
kembali.”
“Pertanyaan kembali bisa diajukan jika pertanyaan
itu belum jelas.”
“Aku tak membawa cintamu.”
Kuajak ia masuk sebelum dingin membunuhnya di luar.
Bincang cinta itu masih memenuhi ruang tamu rumahku. Ia mulai menjelaskan
mengapa ia jatuh cinta. Diantara seluruh kalimat yang ia ucapkan dan tentu
sangat membosankan karena semua lelaki juga mengatakan yang sama kepadaku, ada
yang sangat membuatku benar-benar dipanggang oleh amarah. Amarah yang di
dalamnya ada cinta. Amarah yang sebenarnya bukan amarah. Bahkan saat itu
amarahku pun jatuh cinta padanya.
Katanya ia cemas beberapa hari terakhir. Aku mulai
berpikir bahwa pasti ia akan megatakan, aku mencemaskan diriku karena tak bisa
hidup tanpamu. Memikirkan itu aku mulai muak. Terlalu basi buatku. Cinta tak seperti
ikan yang mau-mau saja ditangkap dengan cara yang sama. Maka aku acuh saja
mendengarnya bicara.
“Aku mencemaskanmu,” masih memuakkan menurutku.
Pasti ia akan bilang, aku mencemaskanmu karena akhir-akhir ini kau sakit.
Percuma. Aku bisa urus diriku sendiri.
Ia melanjutkan kalimatnya, “Aku mencemaskanmu jika
tak kau terima cintaku.”
Kurang ajar! Ia terlalu lancang berbicara seperti
itu.
“Kau pasti akan sakit hati. Kau pasti akan menyesali
perbuatanmu. Karena setelah ku katakan aku cinta padamu, tak ada lagi kalimat
yang sama untuk kedua kali.”
Itu bukan pernyataan cinta. Itu ancaman. Itu perbuatan
teror terhadapku. Lalu parahnya adalah, ia tak ada kabar lagi esok harinya. Dan
esok harinya lagi. Dan esok harinya lagi.
Lelaki kurang ajar, di mana kau?! Aku jatuh cinta!
Di antara
tumpukan buku yang belum ku baca, 29-10-2018
Muhammad Naufal Mahdi