masukkan script iklan disini
LAPMI, UKKIRI’ - Keadaan ekonomi lemah merupakan salah satu yang menjadi
sebab banyaknya generasi penerus bangsa harus memutuskan harapannya demi sekolah di
perguruan tinggi. Tidak terpenuhinya hak dalam hal mendapatkan fasilitas pendidikan adalah salah satu dampak yang ditimbulkan. Sedangkan dalam mengurangi tingkat putus sekolah yang diakibatkan biaya pendidikan justru melompat keluar dari angka wajar. Maka dikeluarkanlah Peraturan
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) berdasarkan
ketentuan pasal 88 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi,
Menteri berwenang menetapkan Standar Satuan Biaya Oprasional Pendidikan Tinggi
yang menjadi dasar perguruan tinggi negeri dalam menetapkan biaya yang
ditanggung oleh Mahasiswa (Permenristekdikti Nomor 22 Tahun 2015), dalam hal
ini kita menyebutnya sebagai Biaya Kuliah
Tunggal (BKT)-Uang Kuliah Tunggal (UKT).
BKT-UKT
sejak hari ditetapkannya, sampai hari ini masih merupakan topik hangat
diperbincangkan di lingkup civitas akademika. Maka,
diadakan
Rapat Dengar Pendapat di LT Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Alauddin Makassar
yang diselenggarakan oleh Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA FAH). Kegiatan yang dihadiri oleh petinggi-petinggi
FAH ini merupakan hari yang menjadi
saksi keresahan mahasiswa terkait persoalan BKT-UKT yang tidak kunjung menuai
transparansi. Senin, (02 /07/2018).
Jika
ditilik lebih dalam, penerapan BKT-UKT dalam subsidi silang ini dimana Si Kaya yang mampu secara ekonomi dapat mensubsidi
Si Miskin yang tak mampu dari sisi ekonomi, memang
merupakan kebijakan yang benar jika penerapan yang ada di lapangan sesuai dengan
yang tertulis dalam undang-undang yang mengatur. Bahwa, dalam mengambil keputusan
dalam menetapkan kategori UKT sesuai dengan kemampuan ekonomi mahasiswa baik
orang tua atau pihak yang membiayainya.
Namun berdasarkan hasil riset
pengurus DEMA FAH yang disampaikan oleh Hasrun selaku Ketua Umum mengungkapkan bahwa ada kiranya sekitar 30% mahasiswa mulai dari
angkatan 2015-2017 yang mengeluh persoalan kategori UKTnya. Terkhusus calon
mahasiswa angkatan 2018, beberapa orang ada yang melapor dan mengadukan persoalan kategori
yang didapat.
Salah
satu mahasiswa yang memprotes persolan kategori
UKTnya adalah Pasrahuddin, mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris asal
Enrekang. Pasrahuddin yang mengaku sebagai anak petani ini memiliki empat
saudara dan satu keponakan yang harus ditanggung orang tuanya merasa berat hati
menerima jumlah UKT yang didapat. Terlebih lagi yang sekarang menjadi tulang punggung keluarga adalah ibunya
karena ayahnya sering sakit-sakitan. Sehingga
yang
dibiayai orangtuanya untuk kuliah sebanyak dua orang yakni, Pasrah dan adiknya Misra
yang berada di jurusan dan angkatan yang sama dengan besaran UKT yang
sama pula di kategori empat yaitu, Rp 1.300.000. Ia juga mengatakan bahwa untuk membiayai
kuliah mereka berdua, orangtuanya harus menggadaikan kebun yang tidak seberapa
luasnya kepada bank.
Setelah
pendataan yang dilakukan pengurus DEMA FAH ini kemudian membuka mata para agen perubahan, bahwa ada kesalahan dalam hal
menetapkan kategori UKT setiap mahasiswa. Meskipun ini bukanlah kesalahan yang
disengaja, namun butuh adanya upaya bagaimana kesalahan ini bisa diperbaiki
seperti yang diatur dalam Permenristekdikti Nomor 22 Tahun 2015 pasal 6 ayat 1
bahwa Pemimpin PTN dapat melakukan penetapan ulang pemberlakuan UKT terhadap
mahasiswa apabila terdapat ketidaksesuaian kemampuan ekonomi mahasiswa yang
diajukan oleh mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya. Jangan sampai yang terjadi
hari ini adalah kebalikan dari tujuan BKT-UKT itu sendiri, Si Miskin yang justru mensubsidi Si Kaya.
Penulis: Rini Asriasni
Editor :
Nurhidayatillah