Cermin Retak

pic by pixabay


Oleh Askar Nur

Dari suaranya yang agak berbeda dari hari-hari sebelumnya mengisyaratkan sesuatu bahwa dirinya sedang berada dalam kondisi dilematis. Yah, hal demikianlah yang membuat Atong menarik nafas panjang sembari berpikir mengenai pembahasan lain sebagai celah agar apa yang hendak dia sampaikan tidak langsung mengarah pada tujuannya menderingkan telpon genggam orang tuanya. Suara yang sangat merdu meskipun ada nada yang penuh keresahan dari dalam dirinya yang kerap mengganggu namun Atong tetap menikmatinya sebagai bentuk pelepas rindunya untuk sementara waktu, terbayang raut mukanya dalam benak yang anggun nan kharismatik. Kulitnya yang kian berteman karib dengan keringat, tangan dan kakinya yang nampak kasar karena setiap harinya retakan tanah akibat kemarau menjadi pijakannya. Semua itu perihal keberlangsungan hidup untuk bukan dirinya sendiri melainkan keluarganya termasuk anak-anaknya yang mengadu nasib dengan pakaian pendidikan dan tentunya untuk Atong dan Ecce yang menjadi buah hati belahan jantung mereka.

Ecce yang kini duduk di bangku sekolah menengah atas yang kisaran 1 tahun lagi akan berganti baju dari putih abu-abu menjadi baju yang sesuai keinginannya dan juga sesuai dengan porsi biaya orang tuanya karena yang namanya melanjutkan jenjang pendidikan dewasa ini membutuhkan yang namanya biaya. Sudah menjadi sebuah keharusan, mau jadi apa bukan lagi persoalan kemampuan otak melainkan seberapa banyak uang yang kau miliki, itu gambaran realistis untuk hari ini. Sementara Atong, anak pertama mereka, tengah berada di sebuah kota dan sementara melanjutkan pendidikannya. Kota ini memiliki julukan Kota Daeng, entahlah karena di provinsi ini ada 2 kota yang memiliki julukan yang sama. Yang pertama adalah julukan kota itu sendiri, kota kelahiran Atong dan Kota Daeng yang memiliki julukan yang sama karena dihuni oleh masyarat yang kerap dipanggil dengan sebutan Daeng, entah yang mana the real of Kota Daeng.

Percakapan Atong dengan Essanya (nama ibunya, dia tidak memanggil ibunya dengan sebutan ibu atau emak tapi dia memanggil ibunya dengan menyebut namanya, bukan karena tidak sopan namun itu adalah budaya tersendiri di keluarga Atong secara turun-temurun) berlangsung dengan durasi yang cukup lama.

“Assalamu alaikum Essa” salam Atong
“Wa alaikum salam nak” jawab Essanya
“bagaimana kabarnya keluarga di sana?”
“Alhamdulillah, baik-baik semua nak”
“di mana Ettaku (panggilan untuk bapaknya, Atong memanggil bapaknya dengan sebutan Etta)?” Tanya Atong pada Essanya
“pergi Maddoja’ di rumahnya Tang nak (Maddoja’ artinya begadang dalam Bahasa Indonesia namun Maddoja’ dalam konteks ini adalah tradisi di kampung halaman Atong jikalau ada acara pernikahan, biasanya 1 minggu sebelum acara pernikahan. Maddoja’ dimulai berupa main domino dan diskusi)” jawab Essanya.

Setelah beberapa saat, perbincangan mereka larut hingga masuk dalam pembahasan mengenai perkuliahan Atong di Kota. Saat setelah Essanya menjelaskan perihal kondisi pertanian yang menjadi mata pencaharian di kampungnya.

Kemarau panjang menjadi mimpi buruk tersendiri bagi masyarakat di kampung Atong yang notabene mata pencaharian mereka dari sektor pertanian seperti tanaman jagung, kacang tanah dan padi. Semua tanaman itu memerlukan curah air yang banyak, namun jika musim kemarau panjang tiba seperti saat ini, hal tersulit dihadapi oleh masyarakat setempat selain padi kekurangan air juga biasanya tanaman jagung dan kacang tanah digerogoti hama saat musim kemarau panjang melanda. Hal itu  menjadi masalah tersendiri bagi masyarakat, karena bisa saja menyebabkan gagal panen terjadi. Tanaman padi milik Ettanya Atong mongering dikarenakan kekurangan air. Hal itulah yang menjadi beban pikiran Atong sekarang karena tidak bisa dipungkiri Atong dan Ecce mampu melanjutkan pendidikan dikarenakan hasil tanah, salah satunya hasil panen padi. Namun kali ini mereka terancam gagal panen sehingga ada hal yang menjadi ketakutan tersendiri bagi Atong sebagai anak sulung. Kehidupan di kota mampu dilakoni jika ada nominal begitupula dengan pendidikan dan penghasilan pokok keluarga Atong yang dari sektor pertanian. Jika hasil panen sukses maka nominal akan ada begitupula sebaliknya.

Segera setelah perbincangan Atong dengan Essanya berakhir, suasana bisu dan sunyi merasuki relung hati Atong, entah ada sesuatu yang berbeda setelah perbincangan itu berakhir. Atong yang dikenal sebagai orang yang cerewet dan selalu banyak bicara seketika menjadi pendiam. Telepon genggam masih di tanganny. Dia menekan tombol demi tombol padahal pemikirannya tidak sedang berada di telepon genggam yang masih di tangannya. Pemikirannya berada di luar sana keluyuran mencari sesuatu yang tak pasti, mencari titik ketenangan. Setelah beberapa saat, Atong nampak berkomunikasi dengan seseorang via chatting dan kemudian melakukan panggilan. Atong mencurahkan segala pemikiran yang menganggunya kepada perempuan yang ditemaninya komunikasi. Perempuan itu adalah salah seorang yang penting dalam kehidupan Atong setelah Essa, Etta serta keluarganya, perempuan yang menemani Atong selama ini dalam menjelajahi dunia pendidikan beserta hiruk-pikuk kehidupan kampus di Kota Daeng. Perempuan itu adalah kekasih Atong yang selalu mendukung apapun yang dilakukan oleh Atong selama itu baik bagi Atong sendiri dan orang lain.

Perempuan yang identik dengan kasih sayang dan kepeduliaannya terhadap sesama. Hal itulah yang membuatnya sangat menarik sehingga Atong merasakan sesuatu yang berbeda dalam dirinya saat pertama kali melihatnya berinteraksi dengan siapapun kala itu. Atong adalah tipikal laki-laki yang terbuka dengan semua orang yang hendak diskusi dengannya. Ini kali pertama Atong menemukan perempuan dengan karakter seperti itu, hatinya berkecamuk dan meronta ingin lekas bertutur sapa dengan perempuan itu. Nampaknya Atong is in love at the first sight.

Sejak hari itu, keseharian Atong selalu dibayangi bayangan perempuan yang mampu menggetarkan hati kecilnya namun dia masih merasa canggung untuk menjumpai perempuan itu secara langsung meskipun dia kerap bertemu dengannya dalam ruang dialektika, Atong hanya bisa sesekali mencuri pandang dengan perempuan itu, Atong mulai merasakan ada sesuatu yang mulai tumbuh di hatinya yang kemudian menjalar ke seluruh sel-sel kehidupan dalam dirinya. Ada asa baru menuju cita yang terbingkai mesra dalam lubuk harapan. Pilihan untuk bersama perempuan itu menjadi bagian dari risalah pengharapan Atong.

Cinta dan permasalahan pendidikan Atong merupakan dua hal yang berbeda namun tidak bisa terpisahkan. Cinta yang tumbuh dalam diri Atong terhadap sosok perempuan itu merupakan salah satu tanggungjawab moral yang harus Atong jalani untuk bagaimana mampu hidup bersama dalam bingkai keluarga dengan perempuan itu serta bertanggungjawab secara lahir dan batin sementara masa depan pendidikan Atong pun seperti itu, tidak kalah besar daripada cinta kepada sosok perempuan idamannya.

Atong kerap merasa risih atau bahkan iri dengan teman sebayanya yang mampu menikmati segala hal yang bisa dijangkau dengan jumlah, sementara dia sendiri tidak mampu melakukan hal demikian. Tiga celana jeans kusut dengan beberapa kaos oblong berwarna hitam dan kemeja yang motifnya hampir luntur karena terik matahari setiap harinya senantiasa menutup sekujur tubuhnya yang terlihat kurus kering selama beberapa tahun terakhir ini. Tentu ada niat untuk membeli pakaian baru namun terkendala dengan kiriman yang sering lambat atau bahkan jumlahnya tidak cukup membeli pakaian baru, hanya cukup untuk kehidupannya selama satu bulan di perantauan yang identik dengan tanah metropolitan dan tentunya apapun harus menelan beberapa jumlah. Kerapkali jika tiba masa pengiriman, Atong mengkalkulasikan apa-apa yang harus dilakukan dengan jumlah uang yang mungkin sangat minim. Hal utama yang biasanya terpikir adalah membelikan setengahnya buku yang kerap dilist-list meskipun jatah makan harus diminimalisir. Sehari cukup satu kali bertatap dengan sepiring nasi yang beraroma keasriaan pedesaan dan lauk seadanya. Bagi Atong, membaca sebuah buku adalah bentuk perlawanan terhadap segala kekurangan dalam diri walau demikian dia tidak pernah menyalahkan siapapun atas apa yang dia hadapi, semuanya terlewati dengan kesyukuran.

Memanusiakan manusia sesuai yang dia baca di beberapa koleksi bukunya menjadi hal yang selalu terpikirkan olehnya. Berangkat dari kutipan salah satu buku favoritnya walau sampai hari ini buku itu belum juga tuntas dibacanya “Dunia ini bukan tentang jabatan, kekayaan dan lain sebagainya tapi dunia ini adalah bumi manusia beserta permasalahannya” kira-kira begitu makna yang terkandung. Dari situ dia berpikir bahwa intisari dalam kehidupan ini bukan persoalan kemakmuran individu melainkan bagaimana bisa menciptakan peradaban manusia. Salah satu hal yang mampu mewujudkan peradaban manusia yakni kekayaan ilmu pengetahuan dan ketakwaan kepada sang pencipta, keduanya dapat diolah melalui bangku pendidikan karna sejatinya pendidikan merupakan alat pendobrak tatanan diri untuk menjadi lebih baik bukan hanya untuk diri sendiri melainkan kehidupan orang banyak.

Namun melihat realitas yang ada hari ini khususnya di bidang pendidikan, hal yang menjadi cita-cita awal baik dari segi legalitas konstitusi adat dan negara terhadap dunia pendidikan yang menjadi pusat pengolahan diri dalam menggali potensi agar tercipta manusia seutuhnya yang berguna bagi kehidupan, telah mengalami pergeseran hakikat yang terbilang drastis. Model yang sebagaimana mestinya telah memunculkan model baru yang nampak sangat menghambat laju perkembangan potensi diri anak bangsa. Pendidikan sebagai alat pembebasan diri setiap individu sehingga lahir kehidupan baru dalam diri yang mampu menelaah dunia dengan sebaik mungkin, berguna bagi orang lain dan negeri ini telah mengalami perubahan yang signifikan. Dewasa ini pendidikan dijadikan sebagai alat mencapai kesejahteraan diri sendiri. Semua peserta didik diarahkan menjadi orang-orang yang sesuai dengan kebutuhan industri dan tentunya kebebasan mengolah diri tidak didapatnya, perlu diketahui bahwa kebebasan di sini bukanlah bebas sebebas-bebasnya tanpa aturan melainkan bebas secara pribadi memilih suatu perkara tanpa paksaan dan tentunya ada hal yang tidak bisa dilanggar yakni perihal aturan main manusia, alam dan sang pencipta.

Walaupun tidak jadi permasalahan peserta didik dikonsep sesuai tuntutan zaman, yang terpenting itu bukan hanya dongeng keindahan belaka. Selepas penamatan dalam sebuah institusi, apakah memang betul mereka dibutuhkan oleh industri? Tentu tidak ada jaminan. Lantas dongeng kehidupan yang berkelimpahan selama ini, apakah ada dalam alam realitas atau hanya ada di alam ide? Hal ini juga masih ambigu. Tentu semuanya harus dicapai dengan usaha namun usaha harus dibekali dengan analisis yang matang yang tidak terlepas daripada strategi dan taktik serta sesuai dengan potensi diri agar tidak menciptakan kehidupan yang kacau di luar sana. Namun semua itu harus berangkat daripada pemahaman tentang diri yang diolah tanpa kekangan dalam wadah yang bernama pendidikan tapi hari ini hal demikian agak susah didapatkan ataupun hampir mustahil dikarenakan hakikat pendidikan dikonsep ulang menjadi sebuah lahan subur penghasil keuntungan segelentir orang.

Hal itulah yang dirasakan oleh Atong sehingga dia menempuh jalur yang agak berbeda dalam arena yang sama sehingga sering dikategorikan sebagai orang yang tidak taat aturan. Memang, karna baginya ketidakpatuhan adalah kreatifitas dalam arena pendidikan yang telah lengser dari hakikatnya. Tidak patuh bukan berarti merugikan orang lain karena prinsip hidup bahwa sebaik-baiknya seorang manusia adalah dia yang berguna dan bernilai bagi manusia lain akan tetap tumbuh kokoh dan istiqamah pada jalan yang ditempuh.

“Jangan jadi orang kaya, jadilah orang miskin yang punya uang, kesyukuran dan berguna bagi bagi orang lain”