masukkan script iklan disini
![]() |
| Google.com |
Oleh: Muhammad Naufal Mahdi
Utusan Presiden SBY tiba menemui Allan Karlsson. Ia
menginginkan agar Allan membantu Indonesia untuk pembuatan bom atom. Setelah
berbincang sebentar, Allan menyetujui.
Allan berkata, “… Kalau begitu, dengan senang hati saya
bersedia membantu.”
Begitulah cerita pada halaman akhir dari Novel The
100-Year-Old Man Who Climbed Out of The Window and Disappeared.
Novel itu mengisahkan seseorang, sesuai judulnya, yang
berumur seratus tahun yang melompat keluar dari jendela karena tak ingin
menghadiri hari ulang tahunnya. Banyak alasan yang membuat Allan tak ingin
hadir. Salah satunya karena ia benar-benar tak suka diperlakukan seperti itu di
dalam Rumah Lansia. Akhirnya ia melompat dari jendela dan memulai
perjalanannya.
Tahun itu tahun 2005. Tepat setahun setelah presiden SBY
mengubah identitas Facebooknya menjadi Presiden Republik Indonesia. Tahun itu
pula yang mengungkapkan siapa Allan Karlsson yang sebenarnya.
Allan tak suka politik. Tapi ia disukai oleh politik, lebih
tepatnya politik perang. Bakatnya membuat bom membuatnya menjadi penentu
kemenangan Amerika pada permainan yang bernama Perang Dunia. Ketaksukaan Allan
pada politik didasari oleh pesan ibunya. Pesan itu diucapkan oleh ibunya
setelah kematian ayahnya yang dibunuh oleh tentara Salin karena mempertahankan
tanah.
Pesan itu berbunyi, “Segala
sesuatu berjalan apa adanya, dan apa pun yang akan terjadi, pasti terjadi.”
Maka dengan pesan itu, Allan tak perlu terlalu berpikir
keras akan kemana hidupnya berlabu. Ia pergi ke spanyol bersama temanya yang
bernama Esteban, seorang komunis. Ia, di sana, berteman akrab dengan Francisco Franco
karena berhasil menghadangnya untuk melalui jembatan yang beberapa menit
kemudian akan meledak.
Dari Spanyol, ia ke Amerika. Awalnya ia menjadi pelayan. Membuat
kopi untuk para fisikawan yang berencana membuat bom dengan ledakan yang
dahsyat. Tiap hari ia bertemu dengan Julius Robert Oppenheimer. Karena jengkel
pada percakapan beberapa fisikawan yang tak mampu menemukan bagaimana membuat
bom atom, Allan tiba-tiba nimbrung dalam percakapan mereka. Ia menjelaskan cara
kerja bom atom pada Julius Robert Oppenheimer. Lalu … beberapa tahun kemundian,
Hiroshima dan Nagasaki dibuat luluh lantak oleh bom tersebut.
Allan semakin terkenal. Ia kemudian ditugaskan menuju Tiongkok
untuk menghentikan gelombang revolusi dari Mao Tse Tung. Alih-alih menghentikan
revolusi, ia malah menyelamatkan istri Mao.
Setelah itu ia kabur. Berencana pulang ke Swedia, negara asalnya, namun
terdampar di Iran karena dituduh komunis.
Begitulah perjalanan Allan yang penuh dengan intrik politik.
Mau bagai mana lagi, sepanjang abad ke-20 orang seperti Allan memang seperti
juru selamat. Keahliannya membuat bom tentu sangat dibutuhkan oleh negara mana
pun.
Kabar tentang Allan yang ahli membuat bom atom tentu membuat
Stalin kegirangan. Beberapa kali gagal membuat bom atom, Stalin segera memerintahkan
Yuri Borisovich Popov untuk menemui Allan dan menculiknya. Namun tetap saja
Stalin gagal. Ia malah hampir membunuh Allan hanya persoalan sederhana;
puisi.Beberapa pertimbangan membuat Allan tak dihukum mati. Ia hanya dipenjara.
Berada di penjara
membuat Allan sangat bosan. Suatu hari ia menghancurkan penjara itu dengan
ledakan bom sehingga seluruh daerah di sekitar penjara itu hangus. Ia berhasil melarikan
diri. Berencana menemui pemimpin Korea Utara.
Bukan Allan namanya jika tak beruntung. Di sana ia dihadiahi
oleh Mao paket liburan ke Bali karena berhasil menyelamatkan istrinya dari
penculikan. Maka ia berada di Bali akibat uang liburan yang berlimpah itu. Menyaksikan
pembantaian Soeharto pada saat-saat terindah liburannya.
“ … Soeharto memburu orang-orang yang komunis, dianggap komunis, disangka
komunis, kemungkinan komunis, sangat tidak mungkin komunis dan orang-orang
tidak bersalah lain.” Begitu yang
tertulis pada halaman 369.
Tak hanya dibuat susah oleh politik, ia juga dijadikan
buronan oleh polisi karena kabur dari Rumah Lansia. Saat berhasil melompat dari
jendela, ia pergi ke stasiun bus. Sembari menunggu bus datang, ia membawa koper
yang tidak sengaja dibawanya masuk ke bus. Koper itu sebenarnya dimiliki oleh
pemuda yang bersamanya di stasiun. Namun karena pemuda itu menitipkan kopernya
pada Allan dan bus Allan telah tiba sedangkan pemuda itu belum ada di stasiun,
maka ia membawa koper itu bersamanya.
Allan tak pernah menyangka koper itu berisi uang. Banyak sekali
uang. Allan tak habis pikir uang itu mau ia apakan.
Polisi semakin gelisah karena Allan belum juga ditemukan. Terlebih,
ternyata ia membawa koper berisi uang. Polisi semakin curiga pada Allan. Segala
kemungkinan dimunculkan. Apa Allan seorang pencuri? Penipu? Atau bahkan
pembunuh? Tak satu pun dari pertanyaan itu yang mampu menjawan teka-teki
mengapa Allan kabur dari Rumah Lansia. Atau mengapa Allan kabur lalu membawa
koper yang berisi uang yang banyak, banyak sekali.
Bersama koper itu ia menemukan banyak teman. Satu, dua,
tiga, empat, lima, enam, tujuh. Yang ke empat dan ke lima mungkin bukan
manusia, tapi anjing dan gajah!
Salah satu kakak dari temannya yang kemudian menjadi
temannya juga berkata;
“Mengapa kalian bepergian naik bus?”
“Kami membawa gajah di belakang.”
“Gajah?”
“Namanya Sonya.”
“Gajah?”
“Asia.”
“Gajah?”
“Gajah.” Begitu yang tertulis pada halaman 248.
Perjalanan semakin seru ketika mereka, Allan dan
teman-temannya kemudian berlibur di Bali. Allan dan bom atom tak bisa
dipisahkan. Ia ingin menghindar dari itu. Namun presiden SBY menginginkan
Indonesia juga memproduksi bom atom. Maka utusan SBY menemui Allan.
Apa indonesia ingin terlibat pada permainan bom atom itu? Sejauh
mana keterlibatan SBY dalam permainan itu? berapa anggaran yang dihabiskan oleh
Indonesia untuk membiayai produksi bom atom itu? Semua pertanyaan itu tak
memiliki jawaban dari fakta sejarah. Bahkan dalam novel The 100-Year-Old Man
Who Climbed Out of The Window and Disappeared pun tak ada. Imajinasi Novel
tersebut menembus batas sejarah. Memunculkan kemungkinan baru. Tentang peranan
besar Allan dalam politik global abad ke-20.
Tak ada yang bisa diprediksi tentang politik global pada
novel itu. Kita hanya diajak untuk menertawakannya. Mengejek Mao, Stallin,
Roosevelt beserta para fisikawan yang berada pada telunjuk masing-masing
presiden mereka. Pada novel itu betapa para ilmuan menjadi tak ada gunanya
selain menghamba pada kekuasaan politik. Novel yang begitu kompleks. Benar-benar
tidak benar. Gila!

